GERAKAN PRAMUKA |
Kendati masih ada komponen pendidikan lain seperti keluarga dan masyarakat. Namun konsesus, bahwa guru merupakan figur poros dalam proses pendidikan si tampaknya memang sulit dipungkiri. Bahkan, berhasil atau tidaknya pendidikan terkadang sangat bergantung pada guru yang bersangkutan. Pasalnya, disamping sebagai pendidik, pengarah dan pembimbing tak ayal lagi, guru harus mampu menjadi motivator. Ini membuktikan, bahwa guru bukan cuma penyampai materi pelajaran semata, tetapi lebih dari itu. Mereka pun sebagai pendorong semangat sekaligus pemicu untuk meningkatkan kemauan belajar peserta didik.
Lantas, apa hubungannya dengan orientasi kepramukaan di kalangan guru ? Bukan rahasia lagi, anggota Gerakan Pramuka di Indonesia ini, sebagian besar terdiri dari pelajar. Gugus depan yang aktif pun kebanyakan berpangkalan di sekolah dan , walaupun ada juga yang berpangkalan di teritorial suatu lembaga atau instansi tertentu. Khususnya, bagi Gugus depan yang berpangkalan di baik tingkat SD/MI, SMP/MTs dan SMA/SMK/MA, mau tidak mau sulit mengesampingkan begitu saja para guru yang sehari – hari berperan di tersebut. Bagaimana pun pengaruh mereka sangatlah penting terhadap peserta didik.
Sayangnya, hingga saat ini, toh masih ada guru – guru yang kurang berminat terhadap organisasi Gerakan Pramuka. Yang memprihatinkan, ternyata masih ada juga di antara mereka yang memiliki persepsi keliru terhadap kegiatan kepramukaan. Kegiatan ini dianggap sebagai kegiatan mubazir, hanya membuang-buang waktu. Buat apa berjoget, bernyanyi, bertepuk tangan, bersenda gurau, dan melakukan kegiatan berkemah atau penjelajahan, kalau toh tujuan kegiatan kepramukaan cuma begitu.
Asumsi para pendidik yang beranggapan, bahwa kegiatan yang diselenggarakan itu merupakan tujuan pendidikan kepramukaan, jelas sangat keliru. Alangkah sayangnya memang jika pemikiran semacam itu justru lahir dari sosok-sosok pendidik seperti guru. Padahal, kegiatan yang disebutkan tadi, tidak lebih dari sarana yang justru digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan itu sendiri. Kendatipun kegiatan kepramukaan merupakan kegiatan ekstra moral, dimana kegiatannya tidak bergantung pada kegiatan , namun jenis pendidikan ini masih dapat dimanfaatkan sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Terutama, bagi gugus depan yang berpangkalan di sekolah.
Tidak menutup kemungkinan memang, ada ulah beberapa anggota Gerakan Pramuka yang memanfaatkan pertemuan lazimnya antara anggota Gerakan Pramuka putra dan putri untuk tujuan tertentu. Namun, tidak semua kegiatan kepramukaan terlibat dalam kasus semacam itu. Lebih-lebih jika setiap anggota Gerakan Pramuka menyadari benar apa Prinsip Dasar dan Metode Pendidikan Kepramukaan (PDMPK), sekaligus dengan kode moral pramuka dalam wujud Tri Satya dan Darma Pramuka.
Dalam setiap kegiatannya, Gerakan Pramuka senantiasa harus positif. Inilah yang seharusnya menjadi bahan pemikiran mendasar bagi mereka yang masih ragu terhadap kegiatan kepramukaan. Lebih dari itu, seluruh kegiatan harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi bahkan kepentingan masyarakat setempat, sesuai dengan kebutuhan dan berbasis lingkungan. Alhasil, kegiatan kepramukaan tersebut tidak hanya menguntungkan diri sendiri maupun segelintir orang justru demi kepentingan bersama.
Oleh karena itu, diharapkan agara para guru memahami kiat organisasi Gerakan Pramuka, bahkan mampu menjadi penggerak utamanya, sesuai dengan predikat keguruan mereka. Dengan tampilnya para guru , dengan sendirinya gugus depan – gugus depan yang berpangkalan di sekolah akan lebih terkontrol, terarah bahkan sesuai dengan kepentingan dan peserta didik. Dengan tampilnya para guru diharapkan persepsi-persepsi keliru yang justru muncul dari kalangan guru sendiri dapat tertepis habis. Orientasi para guru terhadap Gerakan Pramuka, pada hakekatnya mengajak mereka untuk memahami hakekat dan tujuan Prinsip Dasar dan Metode Pendidikan Kepramukaan (PDMPK). Mengapa harapan ini berada di pundak guru ? Masalahnya, kader bangsa yang kita inginkan kelak justru bukan hanya kader bangsa yang mampu berpikir secara ilmiah dan konseptual belaka, melainkan kader bangsa yang paripurna, dalam arti memiliki pribadi luhur, tangguh, lengkap dengan aspek-aspek kepribadian manusia secara utuh, lebih-lebih yang telah melewati gemblengan dalam wadah kepramukaan, benar-benar menjadi kader yang mampu membangun dalam bentuk fisik dan serasi dengan alam yang telah menyediakan sumber daya demi kepentingan manusia.
Berbekal pengalaman dari sosok guru, diharapkan peserta didik memiliki budi pekerti luhur dan wawasan luas. Pendidikan di bangku , rasanya belum cukup untuk menampung kreativitas peserta didik. Boleh jadi kombinasi antara pengalaman mendidik secara klasikal di dan pendidikan sistem beregu dalam kegiatan kepramukaan akan membuahkan semacam okulasi metode yang lebih luwes dan lebih menarik (kakdidik).
Lantas, apa hubungannya dengan orientasi kepramukaan di kalangan guru ? Bukan rahasia lagi, anggota Gerakan Pramuka di Indonesia ini, sebagian besar terdiri dari pelajar. Gugus depan yang aktif pun kebanyakan berpangkalan di sekolah dan , walaupun ada juga yang berpangkalan di teritorial suatu lembaga atau instansi tertentu. Khususnya, bagi Gugus depan yang berpangkalan di baik tingkat SD/MI, SMP/MTs dan SMA/SMK/MA, mau tidak mau sulit mengesampingkan begitu saja para guru yang sehari – hari berperan di tersebut. Bagaimana pun pengaruh mereka sangatlah penting terhadap peserta didik.
Sayangnya, hingga saat ini, toh masih ada guru – guru yang kurang berminat terhadap organisasi Gerakan Pramuka. Yang memprihatinkan, ternyata masih ada juga di antara mereka yang memiliki persepsi keliru terhadap kegiatan kepramukaan. Kegiatan ini dianggap sebagai kegiatan mubazir, hanya membuang-buang waktu. Buat apa berjoget, bernyanyi, bertepuk tangan, bersenda gurau, dan melakukan kegiatan berkemah atau penjelajahan, kalau toh tujuan kegiatan kepramukaan cuma begitu.
Asumsi para pendidik yang beranggapan, bahwa kegiatan yang diselenggarakan itu merupakan tujuan pendidikan kepramukaan, jelas sangat keliru. Alangkah sayangnya memang jika pemikiran semacam itu justru lahir dari sosok-sosok pendidik seperti guru. Padahal, kegiatan yang disebutkan tadi, tidak lebih dari sarana yang justru digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan itu sendiri. Kendatipun kegiatan kepramukaan merupakan kegiatan ekstra moral, dimana kegiatannya tidak bergantung pada kegiatan , namun jenis pendidikan ini masih dapat dimanfaatkan sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Terutama, bagi gugus depan yang berpangkalan di sekolah.
Tidak menutup kemungkinan memang, ada ulah beberapa anggota Gerakan Pramuka yang memanfaatkan pertemuan lazimnya antara anggota Gerakan Pramuka putra dan putri untuk tujuan tertentu. Namun, tidak semua kegiatan kepramukaan terlibat dalam kasus semacam itu. Lebih-lebih jika setiap anggota Gerakan Pramuka menyadari benar apa Prinsip Dasar dan Metode Pendidikan Kepramukaan (PDMPK), sekaligus dengan kode moral pramuka dalam wujud Tri Satya dan Darma Pramuka.
Dalam setiap kegiatannya, Gerakan Pramuka senantiasa harus positif. Inilah yang seharusnya menjadi bahan pemikiran mendasar bagi mereka yang masih ragu terhadap kegiatan kepramukaan. Lebih dari itu, seluruh kegiatan harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi bahkan kepentingan masyarakat setempat, sesuai dengan kebutuhan dan berbasis lingkungan. Alhasil, kegiatan kepramukaan tersebut tidak hanya menguntungkan diri sendiri maupun segelintir orang justru demi kepentingan bersama.
Oleh karena itu, diharapkan agara para guru memahami kiat organisasi Gerakan Pramuka, bahkan mampu menjadi penggerak utamanya, sesuai dengan predikat keguruan mereka. Dengan tampilnya para guru , dengan sendirinya gugus depan – gugus depan yang berpangkalan di sekolah akan lebih terkontrol, terarah bahkan sesuai dengan kepentingan dan peserta didik. Dengan tampilnya para guru diharapkan persepsi-persepsi keliru yang justru muncul dari kalangan guru sendiri dapat tertepis habis. Orientasi para guru terhadap Gerakan Pramuka, pada hakekatnya mengajak mereka untuk memahami hakekat dan tujuan Prinsip Dasar dan Metode Pendidikan Kepramukaan (PDMPK). Mengapa harapan ini berada di pundak guru ? Masalahnya, kader bangsa yang kita inginkan kelak justru bukan hanya kader bangsa yang mampu berpikir secara ilmiah dan konseptual belaka, melainkan kader bangsa yang paripurna, dalam arti memiliki pribadi luhur, tangguh, lengkap dengan aspek-aspek kepribadian manusia secara utuh, lebih-lebih yang telah melewati gemblengan dalam wadah kepramukaan, benar-benar menjadi kader yang mampu membangun dalam bentuk fisik dan serasi dengan alam yang telah menyediakan sumber daya demi kepentingan manusia.
Berbekal pengalaman dari sosok guru, diharapkan peserta didik memiliki budi pekerti luhur dan wawasan luas. Pendidikan di bangku , rasanya belum cukup untuk menampung kreativitas peserta didik. Boleh jadi kombinasi antara pengalaman mendidik secara klasikal di dan pendidikan sistem beregu dalam kegiatan kepramukaan akan membuahkan semacam okulasi metode yang lebih luwes dan lebih menarik (kakdidik).